Hidup adalah perjuangan
Karya : Darwis Kadir,S.Pd
( kupersembahkan buat ummix ifal yang lagi berultah)
Malam kelam ditambah hujan terus tiada henti mengguyur rumah kami, seakan-akan memberikan firasat buruk padaku,walaupun sudah agak larut malam kondisi istri saya masih terus merintih-rintih menahan rasa sakit. Rasa sakit yang sudah lama kami tunggu-tunggu,dari raut wajahnya sedikit terpancar sinar kegembiraan. Anak yang sekian lama kami tunggu-tunggu dari perkawinan kami yang sudah lebih dari 2 tahun. Suatu penantian yang cukup lama bagi kami yang dari awal sudah menginginkan momongan. Abortus dua kali yang menimpa istriku membuat kami harus bertahan dengan kesabaran dengan keyakinan bahwa Allah menganggap kami belum bisa menerima amanahNya dan sekaligus sebagai pencuci dosa-dosa kami.
Jam dinding tua berkelotak berdentang satu kali mengingatkan saya bahwa sekarang sudah jam satu,saya kemudian melirik ke arah istri saya,tampak dia tersenyum,senyum yang teramat manis walaupun kami dalam kondisi hidup tergolong susah dan memprihatinkan,dia tetap memberi semangat untuk tetap bisa berkarya.Saya masih ingat ketika kami bertemu dan saling mengikat janji setia untuk hidup bersama,orang tuanya Lastri istri saya ketika itu ragu terhadap saya dalam mengarungi hidup bersama dalam kondisi ekonomi yang tak ada kepastian. Kerja yang serabutan dan kuli bangunan bukan hal yang asing bagiku dan hasilnya belum bisa di andalkan untuk pengganjal perut sang istri dan bakal generasi kami.Dengan penuh harap saya mencoba meyakinkan bahwa hidup ini seperti roda yang berputar dan semuanya melalui proses sampai akhirnya hidup bisa lebih baik lagi dengan tetap berusaha.Rasa kecewa harus kupendam ketika orang tuanya Lastri tak bisa merelakan anaknya jadi pendamping hidupku. Keyakinannya akan diriku memberikan rasa aman dan hidup yang layak membuatnya harus mengambil keputusan yang di anggapnya tepat. Saat itu aku tak bisa berbuat banyak dan sadar yang dilakukan oleh orang tuanya Lastri mungkin ada benarnya.
Dengan perasan yang masqul,aku mulai menghindari pertemuan dengan Lastri,bagaimanapun juga aku tetap mengharapkannya ke pangkuangku namun aku harus melupakannya demi kebaikan dan nama baik keluarga Lastri.Suatu pesan yang sangat menyakitkan dari keluarga Lastri.Apa yang kulakukan tersebut membuat Lastri tak bisa berbuat seperti saya untuk melupakan diriku.Dia tetap mencari keberadaanku,namun aku selalu berhasil menghindar darinya.Suatu saat dia berhasil mendapatkan aku ketika berbelanja di sebuah toko,dengan penuh kemarahan Lastri memukul saya di iringi dengan tangisnya yang berderai,kenapa saya begitu tega melupakannya. Dengan penuh kehati-hatian saya jelaskan penyebab semua ini,tak lain dari orang tuanya.Lastri tak bisa menerima semuanya dan mengajak saya untuk kawin lari saja.Sebagai seorang yang sangat mencintainya aku bisa berharap itu bisa terjadi,di lain sisi aku teringat pesan dari orang tuanya Lastri.Dalam kebimbangan tersebut Lastri selalu datang menemui saya di pondokan yang saya sewa dengan para teman-teman kuli bangunan yang lain.Suatu hari ketika saya agak kurang enak badan dan teman-teman yang lain pada pergi kerja,Lastri datang dan tetap mendesak saya untuk menikah walaupun resikonya orang tuanya akan marah.Didesak terus seperti itu pendirian saya mulai goyah dan berjanji akan menikahinya walaupun tanpa restu dari orang tua.Tak disangka karena rasa cinta kami melakukan hubungan terlarang yang semestinya belum boleh kami lakukan hari itu.
Sejak dari kejadian tersebut,aku mulai merasa was-was dan takut hubungan kami akan diketahui oleh keluarga Lastri,selain itu pula hubungan yang kami lakukan hari itu membuatku membayangkan akan keadaan Lastri jangan sampai dia berbadan dua.Namun semuanya saya pendam dengan harapan tidak terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan.Kenyataannya Lastri datang ke pondokan dengan raut muka yang panik,dengan menahan tangisnya dia telah mengandung anakku. Rasa penyesalan dan kaget bercampur jadi satu.Ditengah kebimbangan tersebut saya mulai berpikir akan membawa Lastri ke suatu tempat yang tidak akan diketahui oleh keluarganya,karena keyakinan saya mereka tak akan merestui hubnungan kami walaupun tahu anaknya telah mengandung anak saya. Sifat keras hati dan tidak mudah memaafkan adalah sifat bapaknya yang sudah menjadi rahasia umum bagi tetangga-tetangganya. Lastri.Tak mungkin menghadapi ini semuanya,tekad saya sudah mantap membawanya,tapi kemana.Terpikir untuk membawanya ke kampung saya tapi tidak ada jaminan keluarganya tidak akan menemukan saya dan akibatnya bisa fatal.
Dalam kecamuk pikiran tersebut aku menemukan ide bahwa kami harus merantau jauh ke suatu tempat dimana adat dan budaya kami tidak bisa menghalangi langkah kami,budaya kami sangat tidak mendukung apa yang kami lakukan dan sanksinya membuatku harus berpikir seribu kali untuk menghadapi semua ini,dan salah-salah nyawaku adalah taruhan demi menjaga nama baik keluarga mereka.Kalimantan,ya pulau Borneo suatu tempat yang saya anggap tempat untuk melarikan diri dari tradisi. Pengecut anggapan yang membuat khayalan saya sempat terhenti,pantaskah diri saya berbuat seperti ini.Pergulatan batin terjadi tapi aku tidak boleh terlalu berlama-lama dengan perasaan saya,sebelum keluarga Lastri tahu aku sudah tidak berada lagi di tanah Celebes. Lastri harus tahu,dan semuanya harus serba cepat.Keputusan sudah mantap,dasar cintalah penyebabnya walaupun kami masih ragu akan masa depan kami di rantauan.
Sirene Labobar telah berbunyi tanda peringatan kapal segera berangkat,hiruk pikuk para penumpang dan pengantar membuatku tersadar dari lamunan,tampak Lastri di sampingku duduk sibuk dengan perasaannya juga.Kapal mulai mengangkat sauh dan lambaian tangan para pengantar mengiringi kepergian kami.Angin sepoi-sepoi terasa menyejukkan hati kami yang masih galau akan kenekatan yang kami lakukan.Malam kami lewatkan di kelas ekonomi dengan mencoba merancang apa yang bisa kami perbuat di kampung orang. Rasa sedih,perih mengingat semua yang kutinggalkan,keluarga,teman-teman seperjuangan,pekerjaan,namun semuanya harus saya pasrahkan bahwa inilah sebagian dari jalan hidupku. Orang tuaku sendiri di kampung telah saya kabari mengenai apa yang akan kulakukan dan tak usah mencari keberadaan saya,nantilah wakktu yang akan mempertemukan kita dengan seijin yang kuasa. Apa yang kulakukan ini demi menjaga mereka dari sesuatu hal yang akan menyulitkan mereka ketika saya berada bersama mereka.
Malam pun berlalu dalam buaian ombak samudera serta desiran angin , dan dihiasi mimpi.Tanpa kusadari kapal telah merapat di pelabuhan,kami segera bergegas turun,Lastri dengan berkata lirih “ kemana kita pergi kak “.Aku bingung kemana harus pergi,tanah yang kupijak masih terasa asing dan mungkin tak akan akrab nanti denganku,seraya membatin.Tapi semua pikiran tersebut saya tepis,segala resikonya harus saya jalani,sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai. Pepatah yang menjadi setiap kebanggaan bagi masyarakat kami ketika mereka menghadapi masalah yang akhirnya membuahkan keberhasilan.
Dengan sedikit bekal yang kami bawa,kami akhirnya bisa mendapatkan suatu tempat kontrakan sementara yang bisa menampung kami.Tidak luas memang tapi cukuplah bagi kami yang mengadu nasib di rantaun,sekaligus menikahi Lastri dengan bantuan penghulu setempat dengan mahar sebuah cincin perak yang telah lama kubeli. Dari hari ke hari perut Lastri tampak mulai membesar dan aku juga sudah dapat pekerjaan sebagai kuli bangunan kebetulan banyak proyek yang membutuhkan tenaga kasar seperti aku dan itulah kemampuan yang aku miliki.Sedikit demi sedikit aku mulai menabung guna membayar uang kontrakan dan persiapan kelahiran anak kami.Istriku pun tidak mau berpangku tangan membantuku dengan menerima cucian dari para tetangga walaupun aku berkali-kali telah melarangnya.Siang itu perasaanku tidak enak seakan-akan ada kejadian yang akan terjadi tapi tidak bisa kutebak, namun aku tetap paksakan untuk bekerja. Dalam kegelisahan itu tiba-tiba saya dikagetkan oleh panggilan tetanggaku yang mengabarkan bahwa istriku terjatuh sewaktu mencuci dan mengalami pendarahan dan sekarang lagi di rumah sakit,tampa menunggu panjang aku menuju rumah sakit yang dimaksud. Aku harus kecewa,karena janin yang ada didalam rahim istriku tak dapat bertahan untuk menjelma jadi manusia. Hampa…kecewa…sesak kurasa ….!
Sejak kejadian itu aku melarangnya untuk menerima cucian lagi,biarlah aku bekerja lebih keras lagi. Tiga bulan berlalu istriku mulai menampakkan gejala-gejala hamil,pagi itu ketika saya hendak mandi tiba-tiba istriku perasaannya mual mau muntah,karena penasaran saya bawa ke puskesmas dan hasilnya istriku hamil. Dengan semangat 45 kuberangkat bekerja dengan titip pesan untuk menjaga kehamilannya. Keesokan harinya kami di beritakan bahwa para buruh akan dibawa ke suatu pulau kebetulan ada proyek baru disana. Sampai dirumah saya sampaikan hal ini pada istriku,berat rasanya meninggalkan dia dalam keadaan hamil,takutnya terjadi apa-apa saat saya tidak berada disampingnya. Diam,tidak ada penolakan dari istriku. Satu bulan berlalu dan proyek kami selesaikan. Kami diliburkan tiga hari dan kesempatan ini saya pakai bersama istri untuk melepas kerinduan dengan jala-jalan ke pusat perbelanjaan. Entah bagaimana sampai dirumah istriku mengeluh perutnya agak sakit. Cemas melandaku,takut terjadi hal yang kedua kalinya,akh… tidak, bayangan tersebut aku tepiskan. Namun kecemasanku terbukti istriku mulai mengeluarkan plek-plek darah. Bingung,bimbang, takut jadi campur aduk. “istrinya harus istirahat total pak,baring terus sampai tidak keluar darah lagi” kata bidan yang datang kerumah memeriksanya. Maka segala pekerjaan yang selama ini dilakukan istriku menjadi jatahku setiap hari,capek juga menjadi ibu rumah tangga dadakan, batinku. Takdir Tuhan berkata lain ketika kehamilan kedua istri tercinta tak dapat bertahan,Obat dan segala upayanya tak membuahkan hasil,sedih melandaku apalagi istriku yang menatap kosong kepadaku,pandangan kami bertemu, Ya Allah ….inikah gambaran yang engkau berikan bahwa kami selama ini melakukan kesalahan. Kupeluk istriku,air matanya berderai.,disela tangisnya kudengar lirih berkata “ Ujian apalagi ini Kak ?”. Aku menenangkannya walaupun hatiku hampa. Ya Allah ampuni dosa kami,cukupkan saja ujianMu sampai disini,doaku dalam shalat yang selama ini sering kutinggalkan.
Suara sepeda motor yang parkir di depan rumah mengusik lamunanku dari tadi,suara pintu yang diketok meyakinkanku bahwa yang datang adalah bidan yang dari habis isya telah saya kabari. Tak menunggu lama saya persilahkan bidan untuk terus masuk ke bilik dimana istri saya tengah berbaring menahan sakit. Diluar hujan mulai reda, dan bintang-bintang pun mulai menampakkan dirinya dari persembunyian gelapnya malam, apakah ini pertanda baik,apakah anak dan istriku akan selamat ? apakah istriku kuat, Ya Allah…Kuatkan hati kami,aku belum sanggup ditinggalkan istriku,istri yang setia,istri yang rela meninggalkan keluarganya demi diriku yang tak berpunya.Rasa takut kehilangan istriku membuatku keringatan padahal cuaca malam lagi dingin-dinginnya. Erangan istriku menahan sakit dalam perjuangannya dan suara bidan di dalam bilik semakin menambah galau hatiku. Kasihan bagaimana istri yang kucintai berjuang sendirian,dimana kakinya satu di ambang kehidupan dan yang satunya di jurang kematian. Bagaimanan kalau istriku meninggal dan anak kami selamat,bisakah aku mengasuh dan merawatnya? Aku akan jadi duda,ohhh…..tidak,dan rasanya tak ada perempuan yang bisa menggantikan istriku.
Aku tersentak dan tersadar ketika kudengar suara lengking dan tangis bayi dari dalam bilik,kusegera menghambur ke dalam mendapati istriku yang tersenyum dalam keletihan dan kegamangannya melewati perjuangan beratnya dan lengkaplah dirinya sebagai perempuan sempurna dalam persalinan normalnya. Bayi yang menggemaskan dalam tangisnya yang keras menandai kehidupan barunya di dunia..Aku pun adzan di telinganya.Kupeluk dan kuciumi istriku ungkapan gembira dan syukur pada Rabbi. Bayi kecil mungil laki-laki,kami beri nama La Sakka. Satu tahun berlalu,anak kami tumbuh dengan sehat,dan pikiran kami mulai rindu akan tanah kelahiran kami nun jauh di Celebes sana. Rasa takut akan pelanggaran tradisi membuatku ragu untuk kembali,namun kuberpikir kehadiran buah hati kami akan meredakan kemarahan keluarga istriku. Celebes tanah kelahiranku, tunggu kepulangan kami dengan kehidupan dan pengharapan baru. Hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Sayup-sayup adzan subuh terdengar mengingatkanku akan kewajiban sebagai manusia.
Lawade,E, 15 Mei 2009
menyentuh skali....
BalasHapus